Saturday, April 11, 2015

Childern and New Media : Internet Menyebabkan Anak-anak Dewasa Sebelum Umurnya?


 
Pembicaraan mengenai media baru, teknologi, dan internet memang tidak akan pernah ada habisnya. Seperti pada chapter ini yang bertemakan Childern and New Media. Penggunaan media baru seperti internet, memang sudah seperti kebutuhan pokok masyarakat zaman sekarang. Hampir tidak ada orang yang bisa hidup tanpa internet. Khususnya di kota-kota besar yang penduduknya bergaya hidup modern. Internet sudah seperti nafas kedua bagi mereka. Yang menjadi persoalan adalah, tidak hanya orang-orang dewasa saja yang kecanduan internet. Namun penggunaan internet kini juga sudah merambah ke anak-anak bahkan yang masih sangat di bawah umur sekalipun. Pembahasan inilah yang menjadi perdebatan dalam chapter kali ini.

Positif dan negait penggunaan internet dan media baru di kalangan anak-anak memang masih menjadi perdebatan bagi banyak ahli. Namun apabila saya lihat dari pengalaman keseharian, dampak penggunaan internet di kalangan anak kecil memang sudah sangat terlihat. Adik sepupu saya yang belum masuk TK saja sudah lincah mengoperasikan tablet dan bermain banyak games sejenis Angry Bird dan kawan-kawannya. Saya juga yakin di luar sana masih banyak lagi anak kecil yang sudah mengalami penggunaan teknologi dini seperti adik sepupu saya. Memang, bagi sebagian orang hal ini dianggap sebagai hal yang hebat. Sehingga tidak jarang ada orang-orang yang berkomentar, “wah, pintar ya kecil-kecil sudah bisa main tablet”. Tapi apakah hal ini sudah sesuai? bagaimana dampak penggunaan teknologi terlalu dini ini bagi karakteristik anak kedepannya?

Tapscott (1977) mengatakan bahwa internet mampu menciptakan “generasi elektronik” yang lebih demokratis, lebih imajinatif, lebih bertanggung jawab secara social, dan lebih mampu memahami, dibandingkan dengan generasi media sebelumnya. Kemudian Jon Katz (1996) juga memberikan pendapat positif terhadap penggunaan internet pada anak-anak yaitu dengan mengatakan bahwa computer justru memberikan kuasa pada anak-anak untuk berkomunikasi satu sama lain, untuk mnegekspresikan diri mereka, dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang sebelumnya mungkin tidak dapat mereka lakukan dalam kehidupan masyarakat.

Tetapi disisi lain, saya melihat justru internet memberikan kecenderungan anak-anak untuk bersikap lebih ‘dewasa’ dibandingkan dengan umur mereka. Contohnya pada kasus anak SD yang belakangan sedang banyak menjadi pembicaraan di internet. Yaitu tentang sepasang kekasih yang masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar, dan suatu ketika mereka bertengkar. Kemudian si perempuan membuat status di Facebook berbunyi, “kamu bisa nggak sih berfikir dewasa sedikit?”. Bayangkan, kata-kata tersebut keluar dari pikiran seorang gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar, yang seharusnya dia sedang menikmati masa kanak-kanaknya, bermain, tertawa, belajar mengenai hal baru di sekolah, dan bukannya membahas urusan percintaan yang sama sekali belum menjadi tempatnya. Hal ini sungguh sangat mengenaskan. Saya pikir, inilah salah satu dampak buruk yang dapat terlihat nyata dari penggunaan internet terlalu dini.

Lain lagi ceritanya dengan fenomena foto selfie yang juga sedang mewabah di social media belakangan. Baik Instagram, Facebook, Twitter, dan berbagai jejaring social lainnya dipenuhi oleh foto-foto dengan berbagai pose yang sebagian besar dilakukan oleh kaum hawa. Gaya-gaya foto selfie mereka juga ada tren-nya tersendiri. Misalnya tren foto ‘duck face’ dengan gaya memonyongkan bibir, tren foto mulut ikan dengan mulut dikerucutkan seperti mulut ikan, dan masih banyak lagi ‘keanehan’ foto lainnya. Celakanya ternyata hal ini juga diikuti oleh anak-anak yang masih di bawah umur, baik TK, SD, bahkan yang masih belum sekolah. Anak-anak seumur itu saya pikir maish berada pada masa-masa dimana mereka sellau menirukan apa yang dilihat dan apa yang dilakukan orang dewasa. Yang ada dalam pikiran mereka adalah, apabila orang dewasa melakukan hal tersebut, maka berarti hal itu benar.

Adik perempuan teman saya yang masih belum sekolah, sudah pintar selfie sendiri dengan berbagai pose. Mulai dari tersenyum, tertawa, monyong, cemberut, dan berbagai gaya yang bahkan mungkin tidak terpikir oleh orang dewasa pada umumnya. Kemudian foto-foto tersebut ia upload di akun social media yang juga sudah ia punyai sendiri. Namun teman saya itu justru memamerkannya dengan bangga kepada saya dan teman-temannya yang lain bahwa, “ini lho adik saya kecil-kecil sudah pintar gaya.”. tapi jika saya pikir, apakah itu sudah pantas?

Memang jika dilihat dari sisi positifnya, penggunaan internet diperlukan sebagai media pembelajaran bagi anak-anak. Ada banyak sekali aplikasi-aplikasi belajar, ilmu pengetahuan yang bisa tinggal di search di Google, permainan yang tidak sekedar hanya mengajak anak untuk bermain namun juga sekaligus bisa menjadi media pembelajaran. Seperti yang disebutkan oleh Seymor Papert (1933) bahwa computer membawa bentuk media baru untuk pembelajaran yang melebihi dari media-media sebelumnya seperti media cetak dan televisi. Namun, mengenalkan media baru seperti internet sejak terlalu dini menurut saya masih belum tepat. Anak-anak masih belum mengenal betul tentang mana hal yang baik dan mana yang buruk. Tentang apa yang benar, dan mana yang salah. Yang mereka lakukan adalah mengikuti dan mencontoh perilaku orang dewasa yang mereka lihat.

Pengenalan internet dan media baru bisa saja dilakukan mulai mereka memasuki usia sekolah. Itupun orang tua harus ikut terlibat dan berperan penting dalam setiap penggunaannya. Bimbinglah anak-anak mengenal internet hanya benar-benar untuk media belajar. Misalnya untuk bermain aplikasi permainan yang mengandung unsur edukatif seperti menyusun puzzle, belajar membaca, mengenal huruf dan berhitung bisa menjadi pilihan yang tepat untuk mengajak anak mengenal teknologi. Membiarkan anak bebas mengakses internet sendiri, dan membelikannya smartphone pribadi saya rasa masih belumlah tepat. Apalagi membiarkan mereka memiliki akun social media sendiri yang seharusnya bukan ranah bermainnya. Hal ini dapat memicu karakteristik anak yang jadi dewasa sebelum umurnya, dan bahkan bisa mengancam timbulnya resiko yang lebih berat dari itu.
Referensi :

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Media : Social Shaping dan Social
       Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 3 : Childern and New Media
 

 

No comments:

Post a Comment