Tuesday, June 23, 2015

Edmodo : Media Sosial Pintar

Teknologi Komunikasi merupakan salah satu dari sekian banyak mata kuliah wajib di jurusan Ilmu Komunikasi Unsoed. Di semester ke-4 yang sedang saya tempuh ini, ada dua dosen pengampu untuk mata kuliah tersebut. yaitu bapak Tri Nugroho Adi, dan bapak Ali Rokhman. beliau mengajar mata kuliah Teknokom ini secara bergantian, sebelum UTS, dan pasca UTS. pak Ali Rokhman sendiri berkesempatan untuk mengajar pada paruh semester pasca UTS. 
Ada yang menarik dari model pembelajaran yang diterapkan oleh pak Ali ini. yaitu pemanfaatan jejaring sosial seperti Facebook dan Edmodo sebagai media pembelajaran interaktif di luar kelas. menarik memang, karena hal ini sangat berkaitan dengan pengaplikasian dari mata kuliah Teknokom ini. Sebagian besar mahasiswa, pasti sudah cukup familiar dengan media sosial Facebook. namun untuk Edmodo, saya sendiri benar-benar baru pertama kali mengenal media sosial tersebut. maka di tulisan ini saya mungkin akan lebih banyak membahas tentang penggunaan Edmodo untuk media pembelajaran Teknokom. 
berawal dari pembuatan akun di Edmodo. Saya baru tahu, ternyata untuk membuat akun Edmodo diperlukan kode yang akan menghubungkan langsung akun kita dengan grup kelas yang dibuat oleh admin, atau dalam hal ini guru. Maka dari itu, di awal perkuliahan pak Ali sudah memberitahukan untuk mencatat kode agar bisa tergabung dalam grup kelas, Teknokom A 2015. Kesan awal saya ketika melihat tampilan Edmodo, sekilas mirip dengan Facebook. dari warnanya yang didominasi oleh warna biru, dan juga tata letak layoutnya. namun uniknya disini, guru bisa memposting beragam kuis dan soal yang bisa dikerjakan oleh siswanya secara interaktif dan efektif. 
pak Ali melalui Edmodo ini juga sering memberikan serangkaian kuis yang harus kita isi. setiap kuis memiliki batas waktu pengerjaan dan durasi penyelesaian soal. kuis pertama berdurasi 12 menit. di kuis pertama ini, saya sedikit mengalami kendala. kebetulan sekali ketika saya sedang mengerjakan kuis, tiba-tiba koneksi internet saya terputus, dan seketika durasi 12 menit habis. padahal saya sudah selesai menjawab pertanyaan, tetapi belum sempat saya submit. 
dari pengalaman tersebut kemudian di kuis-kuis berikutnya saya jadi lebih berhati-hati dalam mengerjakan. tentunya sebelum mulai mengerjakan kuis, saya pastikan terlebih dahulu kalau koneksi internet sedang benar-benar lancar tanpa gangguan. tetapi secara keseluruhan, metode pembelajaran ini sangat menarik dan efektif. salah satu kelebihan pemanfaatan edmodo ini adalah, antar siswa tidak bisa saling melihat jawaban yang mereka isikan. sehingga kemungkinan untuk menjiplak jawaban teman hampir tidak ada. berkat mata kuliah ini pulalah saya jadi tahu kalau ada media sosial semenarik ini untuk media pembelajaran.

Saturday, April 11, 2015

Childern and New Media : Internet Menyebabkan Anak-anak Dewasa Sebelum Umurnya?


 
Pembicaraan mengenai media baru, teknologi, dan internet memang tidak akan pernah ada habisnya. Seperti pada chapter ini yang bertemakan Childern and New Media. Penggunaan media baru seperti internet, memang sudah seperti kebutuhan pokok masyarakat zaman sekarang. Hampir tidak ada orang yang bisa hidup tanpa internet. Khususnya di kota-kota besar yang penduduknya bergaya hidup modern. Internet sudah seperti nafas kedua bagi mereka. Yang menjadi persoalan adalah, tidak hanya orang-orang dewasa saja yang kecanduan internet. Namun penggunaan internet kini juga sudah merambah ke anak-anak bahkan yang masih sangat di bawah umur sekalipun. Pembahasan inilah yang menjadi perdebatan dalam chapter kali ini.

Positif dan negait penggunaan internet dan media baru di kalangan anak-anak memang masih menjadi perdebatan bagi banyak ahli. Namun apabila saya lihat dari pengalaman keseharian, dampak penggunaan internet di kalangan anak kecil memang sudah sangat terlihat. Adik sepupu saya yang belum masuk TK saja sudah lincah mengoperasikan tablet dan bermain banyak games sejenis Angry Bird dan kawan-kawannya. Saya juga yakin di luar sana masih banyak lagi anak kecil yang sudah mengalami penggunaan teknologi dini seperti adik sepupu saya. Memang, bagi sebagian orang hal ini dianggap sebagai hal yang hebat. Sehingga tidak jarang ada orang-orang yang berkomentar, “wah, pintar ya kecil-kecil sudah bisa main tablet”. Tapi apakah hal ini sudah sesuai? bagaimana dampak penggunaan teknologi terlalu dini ini bagi karakteristik anak kedepannya?

Tapscott (1977) mengatakan bahwa internet mampu menciptakan “generasi elektronik” yang lebih demokratis, lebih imajinatif, lebih bertanggung jawab secara social, dan lebih mampu memahami, dibandingkan dengan generasi media sebelumnya. Kemudian Jon Katz (1996) juga memberikan pendapat positif terhadap penggunaan internet pada anak-anak yaitu dengan mengatakan bahwa computer justru memberikan kuasa pada anak-anak untuk berkomunikasi satu sama lain, untuk mnegekspresikan diri mereka, dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang sebelumnya mungkin tidak dapat mereka lakukan dalam kehidupan masyarakat.

Tetapi disisi lain, saya melihat justru internet memberikan kecenderungan anak-anak untuk bersikap lebih ‘dewasa’ dibandingkan dengan umur mereka. Contohnya pada kasus anak SD yang belakangan sedang banyak menjadi pembicaraan di internet. Yaitu tentang sepasang kekasih yang masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar, dan suatu ketika mereka bertengkar. Kemudian si perempuan membuat status di Facebook berbunyi, “kamu bisa nggak sih berfikir dewasa sedikit?”. Bayangkan, kata-kata tersebut keluar dari pikiran seorang gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar, yang seharusnya dia sedang menikmati masa kanak-kanaknya, bermain, tertawa, belajar mengenai hal baru di sekolah, dan bukannya membahas urusan percintaan yang sama sekali belum menjadi tempatnya. Hal ini sungguh sangat mengenaskan. Saya pikir, inilah salah satu dampak buruk yang dapat terlihat nyata dari penggunaan internet terlalu dini.

Lain lagi ceritanya dengan fenomena foto selfie yang juga sedang mewabah di social media belakangan. Baik Instagram, Facebook, Twitter, dan berbagai jejaring social lainnya dipenuhi oleh foto-foto dengan berbagai pose yang sebagian besar dilakukan oleh kaum hawa. Gaya-gaya foto selfie mereka juga ada tren-nya tersendiri. Misalnya tren foto ‘duck face’ dengan gaya memonyongkan bibir, tren foto mulut ikan dengan mulut dikerucutkan seperti mulut ikan, dan masih banyak lagi ‘keanehan’ foto lainnya. Celakanya ternyata hal ini juga diikuti oleh anak-anak yang masih di bawah umur, baik TK, SD, bahkan yang masih belum sekolah. Anak-anak seumur itu saya pikir maish berada pada masa-masa dimana mereka sellau menirukan apa yang dilihat dan apa yang dilakukan orang dewasa. Yang ada dalam pikiran mereka adalah, apabila orang dewasa melakukan hal tersebut, maka berarti hal itu benar.

Adik perempuan teman saya yang masih belum sekolah, sudah pintar selfie sendiri dengan berbagai pose. Mulai dari tersenyum, tertawa, monyong, cemberut, dan berbagai gaya yang bahkan mungkin tidak terpikir oleh orang dewasa pada umumnya. Kemudian foto-foto tersebut ia upload di akun social media yang juga sudah ia punyai sendiri. Namun teman saya itu justru memamerkannya dengan bangga kepada saya dan teman-temannya yang lain bahwa, “ini lho adik saya kecil-kecil sudah pintar gaya.”. tapi jika saya pikir, apakah itu sudah pantas?

Memang jika dilihat dari sisi positifnya, penggunaan internet diperlukan sebagai media pembelajaran bagi anak-anak. Ada banyak sekali aplikasi-aplikasi belajar, ilmu pengetahuan yang bisa tinggal di search di Google, permainan yang tidak sekedar hanya mengajak anak untuk bermain namun juga sekaligus bisa menjadi media pembelajaran. Seperti yang disebutkan oleh Seymor Papert (1933) bahwa computer membawa bentuk media baru untuk pembelajaran yang melebihi dari media-media sebelumnya seperti media cetak dan televisi. Namun, mengenalkan media baru seperti internet sejak terlalu dini menurut saya masih belum tepat. Anak-anak masih belum mengenal betul tentang mana hal yang baik dan mana yang buruk. Tentang apa yang benar, dan mana yang salah. Yang mereka lakukan adalah mengikuti dan mencontoh perilaku orang dewasa yang mereka lihat.

Pengenalan internet dan media baru bisa saja dilakukan mulai mereka memasuki usia sekolah. Itupun orang tua harus ikut terlibat dan berperan penting dalam setiap penggunaannya. Bimbinglah anak-anak mengenal internet hanya benar-benar untuk media belajar. Misalnya untuk bermain aplikasi permainan yang mengandung unsur edukatif seperti menyusun puzzle, belajar membaca, mengenal huruf dan berhitung bisa menjadi pilihan yang tepat untuk mengajak anak mengenal teknologi. Membiarkan anak bebas mengakses internet sendiri, dan membelikannya smartphone pribadi saya rasa masih belumlah tepat. Apalagi membiarkan mereka memiliki akun social media sendiri yang seharusnya bukan ranah bermainnya. Hal ini dapat memicu karakteristik anak yang jadi dewasa sebelum umurnya, dan bahkan bisa mengancam timbulnya resiko yang lebih berat dari itu.
Referensi :

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Media : Social Shaping dan Social
       Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 3 : Childern and New Media
 

 

Friday, April 3, 2015

Perspektif Pesimis Penggunaan Internet


Berbicara mengenai tiga isu besar yang menjadi pokok bahasan yaitu akses, keterlibatan komunitas dan interaksi social serta pembentukan ekspresi, ketiganya selalu dikaitkan dengan dua perspektif besar yaitu perspektif optimis dan perspektif pesimis. Perspektif pesimis lebih memandang pada kekhawatiran efek penggunaan internet dan teknologi, sedangkan perspektif optimis lebih memandang penggunaan internet dan teknologi sebagai hal yang positif. Jika dilihat dari kedua perspektif tersebut dan diterapkan pada konteks Indonesia saat ini, sepertinya lebih mengarah pada perspektif pesimis.
Misalnya saja seperti isu mengenai akses yang dipandang melalui perspektif pesimis dan optimis. Persepektif pesimis lebih memandang kekhawatiran mengenai akses internet yang tidak bisa dilakukan secara merata sehingga kemudian berdampak pada manfaat yang diterima juga tidak merata. Hal ini bisa dilihat jika di Indonesia, ketidakmerataan tersebut lebih dikarenakan alasan aksesibilitas. Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia merupakan Negara dengan kondisi geografis yang tidak merata. Dataran rendah yang tersebar luas di pulau Jawa, hutan rimba yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan, sampai relief yang terjal ditemukan di daerah Papua. Untuk itu tidak heran apabila tidak semua orang bisa mengases internet dengan mudah di Indonesia. Jangankan di daerah terpencil seperti Kalimantan dan Papua, bahkan di Jawa sendiri masih banyak titik-titik lokasi yang tidak memungkinkan terjangkaunya akses internet. Orang-orang harus pergi ke kota yang memiliki jaringan penuh untuk dapat mengakses internet dengan lancar.
Sebenarnya tidak hanya pada alasan aksesibilitas saja, dari karakteristik masyarakatnya juga banyak mempengaruhi. Indonesia sendiri tergolong dalam jenis masyarakat plural atau majemuk, dimana kita bisa menemukan keberagaman suku bangsa dengan karakteristik yang berlainan. Sampai sekarang pun masih dapat kita jumpai suku-suku tertentu khususnya di daerah terpencil yang lebih memilih untuk memegang erat nilai-nilai adat setempat dan cenderung menutup diri dari masuknya perkembangan teknologi dari luar. Sebut saja seperti di suku Baduy dalam, dan kampong Naga di Tasikmalaya. Mereka bahkan memilih untuk tidak menggunakan listrik, apalagi internet. Alasan-alasan inilah yang membuat mereka cenderung tidak memiliki kesempatan untuk dapat berpartisipasi dengan kegiatan yang mengharuskan adanya pemanfaatan internet.
Kemudian jika diambil dari contoh luar dapat disebutkan seperti pada penelitian yang sudah banyak dilakukan dan menunjukan bahwa masyarakat minoritas misalnya orang Afrika, Amerika dan Hispanik non putih (kulit hitam) memiliki kemungkinan yang kecil untuk memiliki komputer sendiri di rumah, oleh karena itu mereka tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang membutuhkan internet (Neu et al, 1999). Dilihat dari hal-hal tersebut maka tidak dapat dipungkiri bahwa perspektif pesimis memiliki pandangan yang benar terhadap kekhawatiran akses internet yang tidak merata.
Selanjutnya mengenai pengaruh internet pada masyarakat dalam partisipasi politik yang dilihat dari perspektif pesimis. Memang kehadiran internet sangatlah membantu masyarakat bisa lebih memperoleh informasi yang luas mengenai pemilu, partai politik, dan segala aspek yang terkait di dalamnya. Namun apakah hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat partisipasi mereka? Fallows (2000) berargumen bahwa dampak dari internet terhadap politik belum terlihat. Kita ambil saja contoh nyatanya di Indonesia pada pemilihan presiden tahun 2014 lalu. Hampir semua website, bahkan jejaring social, serta situs-situs internet lainnya ramai membicarakan mengenai kedua kandidat presiden yang akan memimpin Indonesia selanjutnya. Melalui adanya internet ini memang menjadikan semua orang bebas berpendapat dan mengeluarkan opini mereka, berkomentar, serta membuat postingan-postingan pemikiran mereka mengenai mana calon kandidat terkuat menurut versi mereka maisng-masing. Namun apakah hanya dengan berkomentar dan mengeluarkan opini saja cukup untuk dikatakan sebagai bentuk partisipasi yang aktif? Tentu saja tidak.
Shapiro dan Leone (1999) menganggap bahwa kebebasan berbicara akan terkena dampak buruk dengan berkembangnya internet, karena masalah akses dan 'ekspose' atau keterbukaan. Pertama, orang-orang akan kesulitan dalam menemukan khalayak untuk dijangkau karena banyak orang yang tidak mau untuk mendengarkan. Van Dijk (1999) percaya bahwa akan ada banyak informasi di internet yang akan sulit dibuktikan kebenarannya yang nantinya akan mengarah pada kesalahan dalam pengambilan keputusan. Orang-orang kebanyakan tidak akan merespon opini yang ada atau bahkan mereka hanya akan memilih dan menerima informasi yang menarik bagi mereka. Kedua, tidak setiap orang punya sumberdaya untuk menyampaikan suara mereka, seperti tidak adanya keterampilan untuk menggunakan teknologi itu sendiri, yang sama saja membatasi kebebasan berbicara/bersuara mereka.
Selain itu kemunculan internet sebagai New Media juga memberikan kendala dalam penggunaannya. Seperti yang disebutkan oleh Van Dijk (1999) bahwa ada empat kendala yang mempengaruhi penggunaan New Media atau media baru. Antara lain :
1.      Orang/pengguna. Biasanya terjadi pada orang-orang tua atau orang lanjut usia yang mengalami kesulitan dalam mengikuti perkembangan teknologi. Atau juga orang-orang yang memiliki pengalalaman pertama yang buruk tentang teknologi tersebut.
2.      Kesulitan atau tidak adanya akses untuk komputer dan jaringan.
3.      Kurangnya keramahan pengguna dan gaya penggunaan menarik
4.      Kurangnya kesempatan penggunaan yang signifikan.
Hal-hal tersebut dapat memunculkan adanya kesenjangan teknologi di dalam masyarakat khususnya di Indonesia yang terdiri dari masyarakat yang terbagi dalam banyak kalangan dan kelas social seperti gender, rasa tau suku, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, kecakapan teknis, dan faktur usia. Kebanyakan orang yang sudah berusia lanjut merasa bahwa teknologi bukanlah lagi bagian dari dunianya. Sehingga ketika mereka diperkenalkan dengan teknologi, mereka cenderung menghindar, dan ketika mereka akhirnya terpaksa harus dihadapkan pada situasi yang mengharuskan dirinya menggunakan teknologi, disitulah mereka mendaptkan masalah. Mereka akan mengalami pengalaman buruk saat pertama kali berinteraksi dengan teknologi.
Contoh kasus ini terjadi pada orang tua saya sendiri. Yaitu pada ibu saya. Beliau memang belum berada pada usia yang terlalu tua. Masih berkisar pada usia ke 40-an. Namun beliau sudah cenderung memlih menghindar dari adanya teknologi. Ibu saya menggunakan telepon seluler, namun masih dalam tipe yang sederhana. Yang penting bisa menelepon dan sms, katanya. Terkadang ibu saya dihadapkan pada situasi dimana ia harus membuka internet, menjalankan laptop, atau berkomunikasi lewat aplikais chatting seperti BBM. Beliau sebenarnya beberapa kali ingin mencoba untuk belajar menggunakan teknologi-teknologi tersebut. Namun sayangnya, setiap kali ibu saya mencoba mulai menjalankan laptop, atau membuka internet, selalu saja belau melakukan kesalahan yang kemudian membuatnya menjadi error. Dari ‘pengalaman buruk’ itulah kemudian ibu saya memilih untuk tidak lagi mencobanya. Beliau beranggapan bahwa semua leptop, internet, dan aplikasi nantinya akan berujung rusak apabila ia gunakan.


Referensi :
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 4 : Perspective on Internet Use: Access, Involvement an Interaction

Friday, March 27, 2015

Essay New Media and Community


Teknologi media selalu dan akan terus berkembang dari waktu ke waktu. Seperti halnya sekarang ini dimana kemunculan internet telah menciptakan sebuah bentuk  baru dari media yang awalnya konvensional berubah menjadi media baru atau “new media”. McQuail (2005 : 138) telah menyebutkan karakteristik dari media baru atau “new media” ini antara lain : digitalisasi di segala aspek ; konvergensi dari media yang berbeda ; divergensi internet dari komunikasi massa ; adaptasi dari peran publikasi ; adaptasi dari peran publikasi ; peran audience yang lebih luas ; fragmentasi dan pengaburan institusi media ; dan berkurangnya kontrol sosial.
Setiap perkembangan dan perubahan teknologi media juga diikuti dengan perubahan karakteristik masyarakatnya yang menjadi konsumen media tersebut. Contohnya pada kemunculan internet yang dimulai sejak era internet pada gelombang ketiga dari tahapan perkembangan kajian media dan community. Era internet ini berkembang sejak tahun 2000an yang salah satunya diindikasikan dari pembentukan Asosiasi Internet Peneliti dan penyelenggaraan konferensi internasional pertama pada September 2000. Sejak saat itu pula internet semakin merambah ke berbagai kalangan masyarakat mulai dari remaja, orang dewasa, bahkan anak kecil dan lansia tidak mau kalah mengikuti perkembangan teknologi. Karakter masyarakat akbiat munculnya internet ini juga sudah terlihat nyata perubahannya. Masyarakat cenderung lebih menyukai segala sesuatunya yang instan, praktis, cepat, mudah, bebas dan cenderung konsumtif. Adanya ketergantungan terhadap media internet juga tidak dapat dipungkiri. Bahkan masyarakat sekarang lebih tidak bisa hidup tanpa koneksi internet.
Instan dan praktis disini dapat dilihat dari cara masyarakat saling berkomunikasi dengan memanfaatkan jejaring sosial, aplikasi chatting, email dan fitur-fitur sejenisnya. Aplikasi dan fitur tersebut memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang di seluruh penjuru dunia hanya melalui sebuah benda kecil bernama smartphone. Hebatnya smartphone ini bisa kita bawa kemana saja dan dapat digunakan kapan saja. Sehingga kita tidak perlu lagi repot pergi ke kantor pos, menulis surat, mengirim telegram, menunggu balasan sampai berminggu-minggu untuk sekedar menanyakan kabar. Masyarakat sekarang lebih dimanjakan dengan kepraktisan yang ditawarkan dari kecanggihan teknologi dan media. Lalu dari segi kecepatan, tentunya media-media yang kita temui sekarang ini belum ada yang bisa menyaingi kecepatan aplikasi chatting atau email untuk mengirim pesan, dan menerima pesan. Hanya dalam hitungan detik saja kita bisa mengetahui kondisi dunia saat ini seolah membuat jarak menjadi tidak lagi berarti. Begitu pula dari segi akses informasi. Apapun jenis informasi yang ingin kita ketahui dapat diakses secara bebas melalui search engine yang juga terhubung dengan jaringan internet.
Dari hal-hal itulah kemudian kita menjumpai fenomena yang disebut dengan virtual community. Virtual community ini diartikan sebagai sekelompok orang yang saling berkomunikasi lewat dunia maya atas dasar kepentingan dan tujuan yang sama. Sedangkan lawannya adalah organic community yaitu dimana individu-individu melakukan komunikasi dengan cara bertatap muka secara langsung. Istilah virtual community ini dicetuskan pertama kali oleh Rheingold dalam bukunya The Virtual Community Homestanding on the Electronic Frontier pada tahun 2000. Orang-orang dalam komunitas virtual ini dapat melakukan hampir segala hal yang biasa orang lain lakukan di dalam dunia nyata, perbedaanya mereka melakukan semua itu tanpa dapat bertemu secara langsung. Mulai dari berdiskusi, bermain game online, berteman baru, saling memberikan dukungan, bergossip, melakukan debat, sharing informasi, sampai berdagang dan bekerja di dunia maya. Pembahasan mengenai berdagang dan bekerja di dunia maya inilah yang menarik. Bila dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya mengenai karakteristik masyarakat era internet yang cenderung lebih ‘manja’ karena memperoleh kepraktisan, instan, cepat, dan segala kemudahan dari perkembangan teknologi media, disini  akan ditunjukan bahwa masyarakat era internet juga bisa kreatif dengan memanfaatkan perkembangan teknologi media tersebut bahkan sampai bisa menghasilkan uang darinya.
Berdagang di dunia maya bisa dicontohkan lewat pedagang yang membuka lapak mereka secara online atau yang biasa kita kenal dengan online shop. Mungkin hampir tidak ada yang merasa asing dengan online shop ini. Lalu bagaimana dengan bekerja di dunia maya? Freelance writer lah contohnya. Freelance writer ini merupakan jenis pekerjaan yang bisa dikategorikan sebagai virtual community, dimana tiap-tiap pekerjanya tidak bertemu secara langsung melainkan hanya memanfaatkan media internet untuk saling menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. Penulis artikel untuk blog misalnya. Pemilik blog dan situs-situs di internet dapat memperoleh keuntungan dari setiap pengunjung yang masuk jika situs atau blog mereka memiliki sponsor. Agar situs dan blog mereka ramai dikunjungi orang, tetunya konten yang terdapat di dalamnya harus terus menerus di up date secara berkala. Ada trik-trik tertentu pula seperti seo, dan lain sebagainya yang membuat blog dan situs mereka nantinya bisa muncul di halaman pertama search engine google. Para penulis lepas atau freelance writer memanfaatkan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan. Mereka digaji untuk membuat artikel yang nantinya akan diposting setiap harinya di blog atau situs-situs tersebut.
Saya sendiri sudah bekerja menjadi freelance writer ini sejak delapan bulan yang lalu. Disinilah saya merasakan manfaat kemunculan virtual community dan dampak positif dari adanya new media pada era internet sekarang ini. Selain mendapat keuntungan berupa gaji, yang saya rasakan lainnya adalah dengan bergabung dengan komunitas virtual penulis lepas ini tingkat kreatifitas yang saya miliki menjadi lebih terpacu dan mendapat banyak pelajaran tentang kepenulisan, karena pekerjaan ini menuntut setiap pekerjanya menulis sedikitnya 1500 kata setiap hari. Jadi jika selama ini internet dan perkembangan media banyak dipandang memberikan dampak negatif terhadap remaja dan kawula muda, seperti karakteristik masyarakat yang telah disebutkan sebelumnya, hal ini tidak sepenuhnya benar. Melalui freelance writer ini dan banyak contoh lainnya akan membuktikan bahwa kemunculan media baru memberikan banyak dampak positif yang tidak hanya sekedar kecepatan berkomunikasi dan akses infromasi, kemudahan, kepraktisan dan yang nantinya dikaitkan dengan karakteristik masyarakat yang ‘manja’. Namun justru pemanfaatan yang baik akan membuat masyarakat menjadi lebih kreatif dan berkembang.